Oleh :

Feri Amsari, SH, MH.

Abstract

The constitution is the highest act in every country and nation. It interprets by many ways and happens during generation to generation. Every generation have methods to meaning the constitution. Islam also has many methods to interpret the highest rule in Islam law (Al-Qur’an) as other kinds of constitution. This paper tries to make some comparative study among the interpretation of Islam law and the interpretation of modern constitutional law.

A. Pendahuluan

Hukum agama adalah salah satu sumber tafsir konstitusi yang jarang sekali menjadi pertimbangan walaupun para penyusun konstitusi, misalnya Amerika, menyatakan pentingnya ketentuan agama menjadi sumber rujukan. Dalam masa kejayaan Kerajaan Majapahit juga segala perundang-undangan dilandasi ketentuan-ketentuan agama.<!–[if !supportFootnotes]–>[1]<!–[endif]–> Bahkan Moh. Yamin mengemukakan hal yang lebih menarik dalaam rapat BPUPKI mengenai kewenangan review oleh peradilan. Menurut Yamin, salah satu framers UUD 1945 yang pakar hukum konstitusi, bukan hanya konstitusi yang harus dilindungi dari penyimpangan produk perundang-undangan di Indonesia, tetapi juga hukum adat dan syari’ah. Yamin sepertinya menganut paham terdapatnya konstitusi-konstitusi tidak tertulis diluar konstitusi formal yang perlu dilindungi sebagai bagian dari hukum tertinggi. Dalam Islam sendiri perlindungan terhadap nilai-nilai syari’ah telah lama dilakukan. Al-Qur’an dan hadist nabi merupakan objek utama yang dilindungi dalam penegakan nilai-nilai syari’ah.


Oleh karena itu perlu pula untuk dikaji dalam pengetahuan hukum modern mengenai bagaimana cara penafsiran hukum tertinggi dalam Islam. Hal itu juga melalui pertimbangan bahwa konsep penafsiran hukum dalam Islam telah lebih dulu dalam budaya keilmuannya. Selain itu patut pula diakui bahwa tafsir Al-Qur’an yang begitu ragam telah dilakukan oleh banyak kalangan ulama tetapi tidak menggoyahkan bentuk keaslian dari teks Al-Qur’an. Hukum Islam sendiri semenjak Abad X, secara teoritis menurut John Gilissen dan Frits Gorle tidak mengalami perubahan.<!–[if !supportFootnotes]–>[2]<!–[endif]–> Poin tersebut memperlihatkan bahwa terdapat mekanisme tafsir yang mampu menjaga nilai-nilai penting Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi layaknya sebuah konstitusi dalam sebuah negara modern. Konsep tafsir Al-Qur’an yang seringkali memadukan teks (Al-Quran) dan konteks (ucapan dan perbuatan Nabi) itu senada dengan pemahaman kalangan textualist dan contextualist atau originalist dan non-originalist dalam ilmu-ilmu tafsir hukum dan konstitusi. Menarik lagi jika melihat posisi Al-Qur’an sebagai hukum tertinggi yang menentukan nilai ‘konstitusional’ dari aturan-aturan hukum di bawahnya. Misalnya jika suatu hadist atau ijtihad dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an, maka dengan sendirinya nilai hadist itu dianggap maudhu<!–[if !supportFootnotes]–>[3]<!–[endif]–> (palsu) dan nilai ijtihad yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan/atau hadist menjadi batal. Hal itu sama juga dalam konsep ketatanegaraan modern, jika posisi sebuah aturan hukum bertentangan dengan ketentuan konstitusi maka aturan tersebut diputuskan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan/atau dibatalkan melalui mekaniseme review. Berikut ini gambar yang memperlihatkan kesesuaian antara penjagaan nilai-nilai/hukum dari Al-Qur’an dan perlindungan konstitusi dalam konsep constitutional review pada negara-negara modern:

Gambar I :

Proses Penjagaan nilai-nilai Al-Qur’an

 

 

Aturan hukum lainnya (ijtihad dan lain-lain)

Ulama/Mufassir

Shahih/diterapkan

Maudhu/dibatalkan

Al-Qur’an

Hadist

<!–[if !vml]–>

 
 

<!–[endif]–>

 

 

 

 

 

= Proses penilaian kesesuaian dgn Al-Qur’an.

= Hasil dari penilaian

= Hierarkis aturan hukum Islam

<!–[if !vml]–><!–[endif]–>Keterangan:

 

 

 

 

 

 

Senada dengan penjagaan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an, maka proses constitutional review adalah juga penjagaan nilai-nilai konstitusional. Itu sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) disebut dengan the guardian of constitution yang berhak satu-satunya sebagai sebuah institusi hukum dalam melakukan tafsir konstitusional (the sole interpreter of constitution).<!–[if !supportFootnotes]–>[4]<!–[endif]–> Kita akan melihat begitu ‘serumpunnya’ proses penjagaan nilai-nilai konstitusional yang dilakukan MK atau perlindungan nilai-nilai undang-undang oleh Mahkamah Agung<!–[if !supportFootnotes]–>[5]<!–[endif]–> dengan penjagaan nilai-nilai Al-Qur’an oleh para Ulama dan Mufassir (ahli tafsir). Hal itu dapat dibandingan melalui gambar berikut ini;

Gambar II:

Proses Constitutional Review oleh MK dan Law Review oleh MA

Konstitusional/ sesuai dengan aturan yang lebih tinggi

Inkonstitusional/

tidak sesuai dengan aturan yang lebih tinggi

Mahkama Konstitusi

Mahkamah Agung

Konstitusi

Undang-undang

Aturan hukum dibawah UU

<!–[if !vml]–><!–[endif]–>

 

 

 

 

 

= Proses uji konstitusional dan uji undang-undang.

= Hasil Putusan uji/review

= Hierarkis aturan hukum

<!–[if !vml]–><!–[endif]–>Keterangan :

 

Dalam sejarah Islam, hukum tafsir telah hidup semenjak zaman Nabi Muhammad SAW.<!–[if !supportFootnotes]–>[6]<!–[endif]–> Kedudukan ilmu tafsir itu sendiri dalam Islam, berdasarkan pendapat Imam Al-Ashfahany, diletakkan sebagai ilmu paling mulia dan dianggap sebagai usaha paling terpuji dari manusia.<!–[if !supportFootnotes]–>[7]<!–[endif]–> Tentu saja penafsiran tersebut dilakukan terhadap kodifikasi hukum tertinggi Islam yaitu Al-Qur’an. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah; apa kaitan penafsiran Al-Qur’an dan penafsiran konstitusional?

 

B. Tafsir Al-Qur’an dan Teori Jenjang

Sebagai sebuah aturan tertinggi yang menjadi acuan seluruh ketentuan hukum agama, maka posisi Al-Quran dapat disejajarkan dengan konstitusi. Untuk menguatkan pandangan tersebut, maka digunakan pandangan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dalam menjelaskan mengenai jenjang hukum. Kelsen mengemukakan bahwa puncak sebuah norma adalah staatsgrundnorm sedangkan menurut Nawiasky lebih tepat puncak norma dinamakan staatsfundamentalnorm. Namun keduanya tidak berbeda dalam hal bahwa suatu norma hukum dibuat berdasarkan ketentuan dari norma yang lebih tinggi. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior.<!–[if !supportFootnotes]–>[8]<!–[endif]–> Sehingga dapat dipahami bahwa sumber paling utama adalah hukum tertinggi. Dalam negara modern hukum tertinggi tersebut disebut dengan istilah konstitusi sedangkan dalam Islam peraturan tertinggi adalah Al-Qur’an.

Menurut Hans Nawiasky penggunaan staatsgrundnorm dan staatsfundamentalnorm harus dibedakan. Nawiasky berpendapat bahwa penamaan staatsgrundnorm digunakan untuk sebuah konstitusi yang tidak dapat dirubah sedangkan staatsfundamentalnorm terhadap konstitusi yang dapat dirubah<!–[if !supportFootnotes]–>[9]<!–[endif]–>. Oleh karena itu Al-Qur’an dapat ditempatkan sebagai sebuah staatsgrundnorm, sebuah konstitusi yang tidak dapat dirubah. Mengenai terdapatnya konstitusi yang tidak dapat dirubah juga dikemukakan oleh Lord Scarman. Scarman menyatakan bahwa Konstitusi Inggris adalah konstitusi yang memiliki sebuah kekuataan yang paling ‘basic’. Makna ‘basic’ tersebut dinyatakan Scarman sebagai berikut: “ ‘Basic’ means that the constitution cannot be amended or repealed (in part or in whole) like the ordinary statute law by a simple majority in Parliament.<!–[if !supportFootnotes]–>[10]<!–[endif]–>

Nilai basic tersebut juga melekat kepada Al-Qur’an. Kitab suci tersebut tidak bisa bahkan tidak boleh dirubah sebagian atau keseluruhan dengan cara apapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun. Tentu maksud Scarman dalam pernyataan di atas tidak berkaitan dengan Al-Qur’an, namun setidaknya nilai basic yang dimaksud Scarman dapat disejajarkan dengan posisi Al-Qur’an sebagai sebuah ketentuan illahiah yang tidak dapat dirubah sebagian (amended) atau keseluruhan (repealed).

Sebagian kalangan beranggapan bahwa konstitusi umat Islam yang pernah ada adalah piagam Madinah (Duustur Madinah), namun kesimpulan tersebut tidak tepat dikarenakan konstitusi dipahami sebagai sebuah norma dasar, landasan atau acuan dari hukum-hukum lainnya. Norma superior yang melandasi terbentuknya Duustur Madinah adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Duustur Madinah terkait hubungan norma superior dan inferior. Hal itu dapat dilihat dari dimulainya Piagam Madinah dengan kalimat basmalah dan pernyataan kenabian Muhammad SAW.<!–[if !supportFootnotes]–>[11]<!–[endif]–> Kedua hal itu adalah ketentuan yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan memperlihatkan bahwa Piagam Madinah mengacu kepada Al-Qur’an. Sehingga Duustur Madinah adalah norma inferior yang ditentukan dalam Al-Qur’an sendiri.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka Al-Qur’an lebih tepat dinyatakan sebagai sebuah konstitusi sedangkan Piagam Madinah lebih tepat disejajarkan dengan treaty (perjanjian) saling menjaga keharmonisan antara beberapa kaum (muslim maupun non muslim) yang hidup berdampingan di Madinah. Walaupun terdapat juga kalangan, seperti J. Suyuthi Pulungan yang menyatakan bahwa Duustur Madinah adalah sebuah piagam (charter), perjanjian (treaty) maupun konstitusi (constitution).<!–[if !supportFootnotes]–>[12]<!–[endif]–>

Al-Qur’an juga mengatur mengenai bagaimana eksekutif memerintah, kewenangan legislasi (walau pengorganisasiannya berbeda dengan negara modern) dalam membuat hukum dan kekuasaan yudikatif dalam menegakkan hukum. Sehingga sesuai dengan pengertian konstitusi yang dikemukakan James Bryce bahwa konstitusi itu adalah sebuah kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain, hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan.<!–[if !supportFootnotes]–>[13]<!–[endif]–>

Oleh karena itu Al-Qur’an sendiri adalah konstitusi dikarenakan poin penting Bryce tersebut telah terdapat dalam Al-Qur’an. Menurut J Suyuthi Pulungan Al-Qur’an disebut sebagai konstitusi karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar social politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk tersebut.<!–[if !supportFootnotes]–>[14]<!–[endif]–> Untuk menguatkan alasan bahwa Al-Qur’an adalah konstitusi, maka dapat kita lihat dari hierarchy of norms dari pendapat Hans Kelsen yang oleh penulis dicoba dideskriptifkan dalam bentuk bagan, sebagai berikut;

Gambar IV<!–[if !supportFootnotes]–>[15]<!–[endif]–>

Urutan Teori Jenjang Norma Hans Kelsen

Basic Norm (Grundnorm)

 

Norms

 

Sub Norms

 

<!–[if !vml]–>

 
 

<!–[endif]–>

 

 

 

 

 

 

 

Al-Qur’an dalam ketentuan Islam adalah sumber dari segala sumber hukum. Hadist, Itjtihad, hukum yang berkaitan dengan kehidupan modern harus berpedoman kepada Al-Qur’an. Sehingga, berdasarkan diagram Kelsen diatas maka tidak dapat dibantah lagi bahwa Al-Qur’an adalah Grundnorm, sebuah konstitusi yang tidak dapat dirubah, namun dapat ditafsirkan. Memang terdapat juga pakar, seperti RM. AB. Kusuma yang membandingkan bahwa Grundnorm hanyalah falsafah norma dengan menggunakan pendapat Kelsen, seperti sebuah pancasila bagi Indonesia.<!–[if !supportFootnotes]–>[16]<!–[endif]–> Namun jika melihat perbandingan yang dibuat Nawiasky antara Grundnorm dan staatsfundamentalnorm, maka terlihat bahwa Grundnorm itu adalah konstitusi sebagaimana juga dikemukakan oleh Notonagoro walaupun tidak dapat dirubah.<!–[if !supportFootnotes]–>[17]<!–[endif]–> Staatsfundamentalnorm dan Grundnorm hanya berbeda dari eksistensinya, satu tidak dapat dirubah namun satu lagi dapat dirubah. Oleh karena itu menurut Nawiasky penamaan Grundnorm tidak tepat dalam sistim ketatanegaran modern, semestinya harus dinamakan staatsfundamentalnorm agar dapat dirubah. Pilihan Nawiasky yang meletakkan bahwa konstitusi harus dirubah tersebut dikarenakan pemahaman ilmu konstitusi modern yang tidak ‘mensucikan’ sebuah konstitusi. Tentu saja prinsip Nawiasky adalah prinsip barat yang memisahkan antara ketentuan agama dan negara.

Maka menurut penulis, Grundnorm bukan hanya falsafah melainkan bisa juga disebut sebagai sebuah undang-undang tertinggi, yaitu sebuah konstitusi yang tidak bisa dirubah. Terlepas dari perbedaan pengelompokkan tersebut, penafsiran Al-Qur’an dalam hal ini merupakan comparative study yang memperkaya kajian dalam mengenal metode interpretasi konstitusional saat ini.

 

 

C. Persandingan Penafsiran Al-Qur’an dan Konstitusi Modern

Lepas dari perdebatan apakah Al-Quran adalah konstitusi ataupun bukan, maka penafsiran<!–[if !supportFootnotes]–>[18]<!–[endif]–> Al-Qur’an perlu dikemukakan dikarenakan beberapa faktor; pertama; sebagaimana pernyataan Yamin terhadap perlunya review syari’ah; kedua, ilmu tafsir Al-Quran telah dipelajari ribuan tahun, bermula pada abad ke-5 (lima),<!–[if !supportFootnotes]–>[19]<!–[endif]–> namun tidak umum dipelajari dalam diskursus-diskursus hukum konstitusi/hukum ketatanegaraan atau yang terkait dengan metode tafsir hukum modern; ketiga, para penyusun konstitusi seperti di Amerika (Barat) dan di Indonesia (Timur) sendiri meyakini pentingnya sumber hukum agama; keempat, tafsir Al-Qur’an, sebagaimana yang akan penulis kemukakan, memiliki metode ilmiah yang luar-biasa sehingga dapat menjadi sumber alternatif dalam mengkaji metode penafsiran konstitusional. Menarik pula apa yang dikemukakan oleh Nasruddin Baidan bahwa tiga pilar utama dalam ilmu tafsir (hermeneutika) yaitu texts, author, dan audients tidak berbeda dengan cara ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.<!–[if !supportFootnotes]–>[20]<!–[endif]–> Hal itu senada dengan pendapat dari Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa proses penafsiran harus memerhatikan 3 (tiga) hal yaitu;

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Siapa yang mengatakannya.

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Kepada siapa ia diturunkan.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Ditujukan kepada siapa.<!–[if !supportFootnotes]–>[21]<!–[endif]–>

 

Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut jika disandingkan dengan kondisi kekinian, maka akan sepadan dengan berikut ini; hal ‘siapa yang mengatakannya’ dapat diselaraskan dengan pembuat undang-undang (legislative), ‘kepada siapa ia diturunkan’ akan sesuai dengan pelaksana undang-undang (executive), sedangkan mengenai ‘ditujukan kepada siapa’ akan bisa dikorelasikan dengan rakyat atau objek yang menjadi pembahasan dalam aturan tersebut.

John Z. Loudoe menyatakan bahwa interpretasi undang-undang (wetsuitleg) sesuai ajaran hukum adalah sebuah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio daripada sebuah ketentuan hukum.<!–[if !supportFootnotes]–>[22]<!–[endif]–> Proses yang dimaksud Loudoe merupakan pola ilmiah yang memerlukan metode dan sistimatika yang jelas serta terarah. Penafsiran Al-Qur’an sebagai salah satu wetsuitleg itu juga memiliki beberapa prinsip ilmiah dan metode-metode tersendiri yang menjadi landasan keilmiahan hasil tafsirnya.

Penafsiran Al-Qur’an dilakukan dengan beberapa cara, yaitu; metode pertama, Al-Qur’an ditafsirkan melalui Al-Quran itu sendiri.<!–[if !supportFootnotes]–>[23]<!–[endif]–> Sebagai sebuah konstitusi yang baik Al-Qur’an menunjukan kesinambungan antara ayat-ayatnya, sebagaimana dinyatakan Allah sendiri bahwa; “maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.<!–[if !supportFootnotes]–>[24]<!–[endif]–>

Metode pertama tersebut sangat bergantung kepada kualitas ketentuan yang ditafsirkan, apabila aturannya memiliki rigiditas dan kualitas yang bagus maka proses tafsir tidak akan mengalami keanekaan tafsir (multi interpretation). Namun konstitusi modern dikarenakan produk buatan manusia sehingga memiliki pelbagai kelemahan, salah satunya rigiditas dalam aturan. Umumnya konstitusi modern hanya akan mampu bertahan puluhan tahun dikarenakan jangkauan pemikiran para framers (pembentuk) konstitusi memang terbatas. Ketidakmampuan pembuat hukum/konsitusi dalam mereka-reka kondisi masa depan itulah yang menjadikan salah satu alasan pentingnya terdapat mekanisme panafsiran dalam ilmu hukum dan konstitusi. Sedangkan penafsiran dalam Al-Qur’an terjadi dikarenakan ketidakmampuan manusia dalam mengetahui makna tersirat dalam ketentuan Al-Qur’an. Hal lain ialah bahwa Al-Qur’an lebih cenderung mengatur dalam ketentuan yang umum yang biasanya terjabarkan dalam ucapan dan perbuatan nabi (sunnah).

Konstitusi juga semestinya ditafsirkan terlebih dahulu dengan konstitusi itu sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh bagian konstitusi memiliki satu kesatuan dan tidak bertentangan antara pembukaan dan pasal-pasal atau antara pasal satu dan pasal yang lainnya, best tafseer is done by Allah himself.<!–[if !supportFootnotes]–>[25]<!–[endif]–> Pandangan ini sejalan dengan para pemikir textualist dalam menafsirkan konstitusi. Pandangan ini di Barat (Amerika) bahkan juga disebut dengan strict constructionist yang sangat tegas memaknai setiap kalimat dalam konstitusi.<!–[if !supportFootnotes]–>[26]<!–[endif]–> Menurut salah satu Hakim Agung dalam Supreme Court<!–[if !supportFootnotes]–>[27]<!–[endif]–> (Mahkamah Agung) Amerika, Hugo Black, bahwa dalam konstitusi Amerika (amandemen pertama) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa Kongres Amerika sama sekali tidak boleh membentuk undang-undang (aturan hukum) yang membatasi kemerdekaan berpendapat. Pernyatakan hak konstitusional itu harus dipahami menurut Black bahwa tidak boleh ada, tanpa terkecuali, sebuah aturan hukum yang melarang kemerdekaan berpendapat di Amerika.<!–[if !supportFootnotes]–>[28]<!–[endif]–> Sehingga tidak satupun aturan yang boleh bertentangan dengan ketentuan konstitusi bahkan antara pasal-pasal konstitusi pun tidak diperbolehkan saling bertabrakan. Jika seandainya terdapat pengecualian mengenai kemerdekaan berpendapat pada pasal lain dalam konstitusi Amerika, maka pasal tersebut telah ’meruntuhkan’ makna dari ketentuan amandemen pertama tersebut. Hal itu dapat menimbulkan keraguan dalam penegakkan nilai-nilai konstitusional. Nilai keselarasan antar pasal dalam konstitusi sebagaimana diajarkan dalam metode tafsir Al-Qur’an ternyata dalam UUD 1945 dalam beberapa pasal terabaikan. Misalnya Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut;

”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

 

Makna tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun adalah tidak terdapat alasan dalam bentuk, jenis dan aturan apa pun yang dapat mengurangi apalagi menghilangkan hak-hak tersebut. Namun teramat disayangkan para pelaku amademen masih mengalami keragu-raguan dalam menentukan hak asasi dan pembatasan-pembatasannya. Kondisi rancunya antara pasal-pasal dalam konstitusi Indonesia dapat dilihat jika disimak bunyi dari Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, sebagai berikut:

”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atau hak dan kebebasan orang lain…”

 

Pasal-pasal tersebut dianggap tumpang tindih dikarenakan tidak jelas apakah pembatasan hak yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) juga termasuk mengatur ketentuan hak yang tidak dapat dikurangi (dirigible rights) dalam ketentuan Pasal 28 I ayat (1). Seharusnya jika ingin membatasi Pasal 28 I (1) maka harus diiringi langsung atau digabungkan dalam satu pasal agar tidak menimbulkan multi-tafsir. Banyak cara dalam metode pembentukan perundang-undangan, misalnya lagi dengan memperjelas dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) melalui penyebutan secara eksplisit bahwa pasal ini juga mengatur ketentuan Pasal 28 I. Sehingga dalam asumsi hukum dapat dipahami bahwa Pasal 28 I mengatur mengenai hal yang umum harus diberlakukan sedangkan Pasal 28 J ayat (2) menjadi ketentuan khusus yang membatasi ketentuan umum tersebut, lex special derogat legi generalis.

Metode kedua dalam penafsiran hukum Islam adalah; Al-Quran ditafsirkan melalui hadist Nabi Muhammad SAW; hal itu dilandasi oleh ayat berikut; “sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah (as Sunnah) serta mengajarkan kepada kamu yang belum kamu ketahui”.<!–[if !supportFootnotes]–>[29]<!–[endif]–>

Konsep ini jika ditelusuri dengan membandingkannya ke dalam teori penafsiran konstitusi modern maka akan serupa dengan pendekatan original intent (tujuan asli) dari framers of constitution (pembentuk konstitusi) yang menggunakan metode tafsir historical (kesejarahan).<!–[if !supportFootnotes]–>[30]<!–[endif]–> Dalam konsep tafsir Al-Qur’an yang berbasiskan ketentuan hadist menunjukan bahwa tafsir dalam hukum Islam juga menggunakan metode sejarah. Hadist adalah catatan sejarah kehidupan/perbuatan Nabi. Ucapan dan perbuatan Nabi tersebut adalah gambaran dari pendekatan original intent. Perbuatan-perbuatan sahabat Nabi dalam mengamalkan yang Al-Qur’an dan Nabi ajarkan juga menjadi landasan penting dalam memahami maksud kitab suci tersebut. Tentu saja hal tersebut bagian penting dari interpretasi Al-Qur’an yang berkaitan erat dengan bukit-bukti sejarah.

Dalam budaya hukum Amerika, hal itu juga diterapkan untuk melakukan tafsir dan memiliki banyak pengikutnya. Hanya kekuatan metode historical dalam Islam memang lebih sistematis dan terjaga (mungkin lebih tepat disebut strict/tegas) dibandingkan hukum modern. Pada hukum hadist dikenal dengan parawi (penyampai) hadist, bahkan juga ditentukan kedudukan hadist dan bunyi hadist, apakah tergolong shahih (baik/benar) atau dhoif (rusak). Individu penyampai hadist juga dinilai, memiliki track record tersendiri. Jika penyampai memiliki catatan ’karir’ jelek maka apa yang disampaikannya berkaitan dengan hadist dapat dinyatakan berkekuatan lemah atau dhoif. Hal itu penting dalam menjaga aspek kebenaran historical, sehingga generasi masa depan yang menganut pemahaman kesejarahan tersebut tidak salah menggunakan konsep makna dari ketentuan yang dimaknai dari konstitusi. Di Indonesia pendekatan sejarah konstitusional masih sangat ’tawar’ dengan catatan kesejarahan yang bernilai dalam memaknai konstitusi. Boleh dikatakan masih sedikit sekali risalah-risalah persidangan para founding fathers and mothers bangsa ini yang dapat dipublikasikan dan dinikmati publik. Naskah penyusun konstitusi yang seringkali digunakan (menjadi acuan) boleh dikatakan hanya naskah versi Moh. Yamin, itupun untung dengan keberadaan naskah sidang framers of constitution versi Ananda B. Kusuma.

Metode ke tiga dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah berdasarkan petunjuk para sahabat Nabi SAW dan metode ke-empat berdasarkan pendapat para tabi’in. Metode ini mirip dengan metode doctrinal dalam tafsir modern dengan pendekatan doctrinalist (pendapat ahli). Dalam hal ini dapat dipahami bahwa dalam menafsirkan konstitusi haruslah seseorang yang dalam pengetahuannya mengenai konstitusi itu sendiri, dengan kata lain haruslah seseorang yang dapat disebut sebagai ahli Al-Qur’an, hadist dan ilmu penunjang lainnya. Konsep Islam yang berpahaman ’serahkan segala sesuatu kepada ahlinya’ atau ’tunggulah kehancuran jika menyerahkan pekerjaan kepada yang bukan ahli’ menjadi landasan bahwa penafsir Al-Qur’an memang harus orrang-orang yang berkompetensi di dalam bidang tersebut.

Hal itu dapat dibandingkan dengan syarat negarawan dalam seleksi Hakim MK-RI. Oleh karena itu Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 dan Pasal 15 UU No.24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi mensyaratkan hakim konstitusi adalah seseorang yang harus; ”memiliki integritas kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang mengusai konstitusi dan ketatanegaraan.” Konsep memiliki kapasitas keilmuan dan kewibawaan tersebut juga diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an, bahkan diatur lebih ketat. Walaupun sesungguhnya persyaratan tersebut bukanlah aturan eksplisit dalam Al-Qur’an atau hadist, namun para ulama sepakat dengan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh penafsir Al-Qur’an.

Menurut Imam Asy-Sayuthi seseorang harus memenuhi beberapa syarat, yaitu; (a) menguasai ilmu bahasa; dalam memahami Al-Qur’an pengetahuan kebahasaan sangatlah penting untuk mengetahui darimana asal usul kata melalui pembendaharaan kata (mufradat-mufradat/vocabulary dalam metode Bahasa Inggris)<!–[if !supportFootnotes]–>[31]<!–[endif]–>. Kefasihan dalam berbahasa Arab sangat diperlukan agar memahami sungguh-sungguh maksud kata-kata Al-Qur’an. Imam Mujahid berpendapat bahwa para penafsiran terhadap Al-Qur’an dilarang dilakukan oleh orang yang tidak menguasai dan mengetahui bahasa Arab.<!–[if !supportFootnotes]–>[32]<!–[endif]–>

Hal itu juga sama dalam melihat syarat tafsir konstitusi modern<!–[if !supportFootnotes]–>[33]<!–[endif]–>, kepahaman dalam ilmu bahasa juga diperlukan. Menjadi tidak tepat jika seorang hakim menafsirkan konstitusi hanya berdasarkan opini hukumnya semata tanpa memahami maksud ‘kebahasaan’ dalam pasal-pasal konstitusi itu sendiri. Terhadap pemahaman tersebut Edwin Meese III mengatakan bahwa; ”our approach to constitutional interpretation begins with the document itself. The plain fact is, it exists. It is something that has been written down.<!–[if !supportFootnotes]–>[34]<!–[endif]–>

Dalam teori ilmu hermeneutika (ilmu tafsir) hukum dikenal mengenai persoalan hukum dan bahasa atau disebut juga dengan linguistikalitas (sprachlichkeit) hukum.<!–[if !supportFootnotes]–>[35]<!–[endif]–> Namun pengetahuan kebahasaan itu tidak berdiri sendiri tanpa pengetahuan lain yang harus dikuasai pelaku penafsir baik terhadap konstitusi maupun Al-Qur’an.

Bisa dikatakan bahwa pendekatan kebahasaan dalam tafsir Al-Qur’an dapat disejajarkan dengan pemahaman textual approach para kalangan originalis. Nilai originalitas (teks Al-Qur’an) harus pula didukung oleh nilai-nilai lainya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an nilai-nilai atau pengetahuan yang lain juga menjadi sangat penting dikuasai penafsir Al-Qur’an.

Pengetahuan berikutnya adalah; (b) Ilmu Nahu yaitu sebuah pengetahuan mengenai pengungkapan tentang perubahan makna melalui I’rab. Bahasa Arab memiliki ketentuan khusus dalam penggunaannya.<!–[if !supportFootnotes]–>[36]<!–[endif]–> Pengetahuan selanjutnya adalah; (c) Ilmu Sharaf yaitu tentang pembentukan kata-kata/kalimat, sifat kata-kata dan lain-lain.<!–[if !supportFootnotes]–>[37]<!–[endif]–> (d) Ilmu Etimologi (Istiqaq) yaitu ilmu tentang asal-usul kata yaitu sebuah pengetahuan mengenai sumber kata dan kemiripannya dengan kata-kata lain<!–[if !supportFootnotes]–>[38]<!–[endif]–>. (e) Ilmu Balaghah (retorika/metafora) adalah sebuah ilmu tentang keistimewaan susunan kalimat dan mengetahui faedahnya, susunan kalimat khusus yang menerangkan kalimat-kalimat lain, serta mengetahui tentang keindahan-keindahan suatu kalimat.<!–[if !supportFootnotes]–>[39]<!–[endif]–> (f) Ilmu Qira’at yaitu pengetahuan mengenai cara pengucapan dan pembacaan Al-Qur’an. Pengetahuan ini masih satu kesatuan dengan pengetahuan mengenai kebahasaan.<!–[if !supportFootnotes]–>[40]<!–[endif]–>

Pengetahuan lain yang penting dimiliki seorang penafsir Al-Qur’an adalah<!–[if !supportFootnotes]–>[41]<!–[endif]–>; (g) Ilmu Ushuluddin yaitu ilmu yang berkaitan dengan iman; (h) Ilmu Ushul Fiqh yaitu ilmu yang mencari pembuktian mengenai hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an; (i) Ilmu Asbabun Nuzul ialah pengetahuan tentang sebab-sebab atau latar belakang turunnya masing-masing ayat Al-Qur’an; (j) Ilmu Nasikh dan mansukh adalah ilmu yang mengetahui kriteria ayat-ayat nasikh dan mansukh (mengenai ketentuan hukum yang telah dihapus dan masih berlaku); (k) Ilmu Hadist ialah pengetahuan mengenai ayat-ayat yang yang memuat ketentuan pokok saja dalam al-Qur’an (mujmal) dan ayat yang samar-samar maknanya (mubham) sehingga dapat diperjelas dengan sunnah Nabi SAW. Beberapa ilmu di atas bisa disebandingkan dengan syarat kemampuan hukum (terutama ketatanegaraan), yaitu ilmu perundang-undangan. Seorang hakim konstitusi harus benar-benar memahami teori-teori hukum dan perundang-undangan, bagaimana aturan tersebut semestinya dibentuk, latar-belakang lahirnya sebuah perundang-undangan (sebagaimana ilmu asbabun nuzul), pemberlakuan sebuah ketentuan (seperti nasikh-mansukh) dan lain-lain.

Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh seorang penafsir Al-Qur’an adalah mengenai (l) Ilmu Mauhabah (Wahbi) ialah suatu ilmu khusus yang diberi Allah jika seseorang mengamalkan pengetahuannya. Poin ini memiliki ’watak’ yang serupa dengan syarat hakim konstitusi haruslah kepribadian yang memiliki integritas, adil dan tidak tercela (Pasal 24 C ayat [5] UUD 1945). Hakim Konstitusi bukanlah orang yang mengetahui sebuah aturan hukum, sebab-musyabab aturan itu dibentuk tetapi secara individu tidak mampu menerapkannya/menegakkannya sebagaimananya seorang ulama penafsir Al-Qur’an yang harus mampu menerapkan ilmu yang diketahuinya tentang sebuah amal yang diajarkannya.

Syarat lain adalah berupa ilmu pendukung yaitu; (m) ilmu sain dan teknologi ialah ilmu mengetahui tentang pengetahuan modern yang menggali tentang pengetahuan-pengetahuan baru. Ulama penafsir Al-Qur’an juga harus mengetahui perkembangan sains dan teknologi sehingga bisa menetapkan bentuk hukumnya bagi kemaslahatan umat dengan keyakinan penuh yang dilandasi keilmuan bukan prasangka. Syarat ini adalah syarat ’implisit’ dalam hal hakim konstitusi. Hakim konstitusi yang baik tidaklah seorang hakim yang mempercayi secara membuta pandangan saksi ahli melainkan juga harus memahaminya secara keilmuan sehingga ia juga dapat memutuskan apakah sebuah permasalahan tersebut berkesesuaian dengan konstitusi. Hakim konstitusi yang menghadapi masalah teknologi, misalnya, tidak bisa hanya berharap terhadap pendapat pakar, melainkan ia harus menggalinya sendiri secara keilmuan perkara teknologi tersbut agar ia benar-benar yakin terhadap apa yang diputuskannya.

Dari metode penafsiran Al-Qur’an dapat dipahami bahwa untuk melakukan sebuah tafsir diperlukan tahapan-tahapan yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir. Hal itu penting agar penyimpangan terhadap dasar hukum dapat diminimalisirkan. Konsep yang sama juga dapat diterapkan dalam melakukan tafsir terhadap konstitusi modern. Syarat-syarat seorang penafsir konstitusi sebaiknya tidak abstrak, misalnya syarat harus seorang negarawan bagi hakim MK pada Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. Untuk menjadi hakim MK dapat disyaratkan harus memiliki pengetahuan kebahasaan (baik Indonesia dan Hukum), pengetahuan mengenai sistim ketatanegaraa dan perbandingan ketatanegaraan yang dibuktikan dengan jenjang pendidikan, pengetahuan kesejarahan Indonesia yang dibuktikan pada fit and proper test di DPR (semestinya juga di MA dan Presiden), dan lain-lainnya. Kejelasan itu penting agar setiap putusan yang menafsirkan konstitusi dapat terjaga nilai murni konstitusionalnya namun juga dapat menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan terkini rakyat.

Penutup

Metode tafsir hukum sesungguhnya telah hidup sangat lama sekali, hal itu dapat dibuktikan dengan metode tafsir Al-Qur’an. Dari pemaparan di atas mungkin dapat dihipotesakan (simpulan sementara) bahwa metode tafsir hukum konstitusi memiliki kaitan erat dengan metode penafsiran Al-Qur’an atau bahkan bisa dikatakan bahwa metode constitutional interpretation dipengaruhi oleh metode-metode tafsir dalam ranah ilmu-ilmu agama. Penafsiran juga dapat ditemukan dalam kitab Taurat dan Injil.<!–[if !supportFootnotes]–>[42]<!–[endif]–>

Mengenai persyaratan individu penafsir memang dalam konsep hukum Islam terdapat ketentuan yang lebih ’rumit’ dibandingkan persyaratan penafsir dalam ilmu hukum dan konstitusi. Namun kondisi tersebut sesungguhnya memperlihatkan terdapatnya pembatasan human resources sebagai pelaku tafsir baik di dalam hokum Islam maupun konstitusi modern. Hal itu berfungsi untuk menjauhi tafsir yang beragam yang akan menyebabkan kerancuan aturan pelaksana dan masyarakat yang akan mematuhi aturan.

Kajian Al-Qur’an memang masih sangat terbatas dalam wacana keilmuan hukum modern. Hal itu mungkin disebabkan oleh keterbatasan literature pendukung, maupun terdapat faktor-faktor lain yang berkaitan dengan batas ruang dan waktu. Oleh karena itu harapannya adalah studi singkat ini dapat memberikan wawasan baru serta semangat bagi yang tergugah hatinya melakukan kajian keagamaan dan ketatanegaraan.

Daftar Pustaka

 

Kitab Suci

Al-Qur’an

 

 

Buku/Jurnal

Asshiddiqie, Jimly, dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

 

Al-Khathib, M. Ajaj, 1999, Hadist Nabi Sebelum Dibukukan, Jakarta: Penerbit Gema Insani Press.

Benny, K. Harman dan Hendardi (edt), 1991, Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, Jakarta, YLBHI dan JARIM.

Chand, Hari, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, International Law Book Service.

 

Cumper, Peter, 1999, Cases and Materials-Constitutional and Administrative Law, London, Blackstone Press Limited.

 

Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Pres.

 

Hamidi, Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta, Penerbit UII Press.

 

Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 1, Maret 2007, Penerbit Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

 

Leyh, Gregory, 2008, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik, Bandung, Penerbit Nusa Media.

 

Loudoe, John Z, 1985, Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta : Penerbit Bina Aksara.

 

Pulungan, J. Suyuthi, 1996, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta, Rajawali Pres.

 

Strong, C.F., 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik ModernKajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusamedia.

 

Syurbasyi, Ahmad, 1999, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta, Penerbit Kalam Mulia.

 

Rakove, Jack N. (editor), 1990, Interpreting the Constitution, The Debate over Original Intent, Boston: Northeastern University Press.

 

Marzuki, Laica, 2006, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, SH, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

 

Muljana, Slamet, 2006, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, Yogyakarta, LkiS.

 

Website

www.constitution.org

http://danzoe.wordpress.com

http://en.wikipedia.org/wiki/judicial_interpretation.

http://en.wikipedia.org/wiki/Qur’an.

<!–[if !supportFootnotes]–>

<!–[endif]–>

<!–[if !supportFootnotes]–>[1]<!–[endif]–> Agama utama ketika itu adalah agama Siwa dan Budha. Hal itu dapat ditelusuri melalui; Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, (Yogyakarta : LkiS, 2006), hlm. 222-223.

<!–[if !supportFootnotes]–>[2]<!–[endif]–> John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum, Suatu Pengantar, (Bandung: Penerbit PT. Refika Aditama, 2005), hlm. 136.

<!–[if !supportFootnotes]–>[3]<!–[endif]–> Lihat mengenai hadist shahih dan maudhu dalam; M. Ajaj Al-Khathib, Hadist Nabi Sebelum Dibukukan, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 1999), hlm. 22.

<!–[if !supportFootnotes]–>[4]<!–[endif]–> Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, SH, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.88. Menurut saya harus dipahami oleh banyak pihak bahwa memang secara eksplisit baik dalam konstitusi, UUD 1945, maupun di dalam UU Mahkamah Konstitusi (UU MK, No.24/2003) tidak disebutkan kewenangan menafsirkan UUD 1945. Namun kewenangan itu mutatis mutandis melekat kepada MK ketika diberikan kewenangan menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945. Sehingga bukan berarti lembaga-lembaga negara lain, seperti MPR yang memiliki kewenangan merubah dan menetapkan UUD 1945 (Pasal 3 jo Pasal 37 UUD 1945) tidak berhak menafsirkan UUD 1945, namun tafsir yang memiliki kekuatan hukum adalah tafsir MK. Hal itu penting demi menghilangkan multi tafsir UUD 1945 agar tidak rancu dalam penerapan nilai-nilai konstitusional.

<!–[if !supportFootnotes]–>[5]<!–[endif]–> Ni’matul Huda menyebut pembagian kekuasaan kehakiman di Indonesia bersistem bifurkasi (bifurcation system) dimana cabang kekuasaan kehakiman terletak pada dua cabang. Selanjutnya mengenai hal tersebut dapat dibaca pada; Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Pres, 2008), hlm. 252.

<!–[if !supportFootnotes]–>[6]<!–[endif]–> Ahmad Syurbasyi, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 1999), hlm.81.

<!–[if !supportFootnotes]–>[8]<!–[endif]–> Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 109.

<!–[if !supportFootnotes]–>[9]<!–[endif]–> A.A. Oka Mahendra, Konstitusionalisme di Indonesia dalam Benny K. Harman dan Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, (Jakarta: YLBHI dan JARIM, 1991), hlm. 52

<!–[if !supportFootnotes]–>[10]<!–[endif]–> Peter Cumper, Cases and Materials- Constitutional and Administrative Law, (London: Blackstone Press Limited, 1999), hlm.5.

<!–[if !supportFootnotes]–>[11]<!–[endif]–> Lihat mengenai Duustur Madinah dalam www.constitution.org diakses pada tgl 1 Februati 2008.

<!–[if !supportFootnotes]–>[12]<!–[endif]–> J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta : Rajawali Pres, 1996), hlm. 114.

<!–[if !supportFootnotes]–>[13]<!–[endif]–> C.F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern-Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, (Bandung: Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusamedia, 2004), hlm.15.

<!–[if !supportFootnotes]–>[15]<!–[endif]–> Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Book Service, 1994), hlm. 93.

<!–[if !supportFootnotes]–>[16]<!–[endif]–> RM. AB. Kusuma, Keabsahan UUD 1945 Pasca Amandemen, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 1, Maret 2007, (Jakarta: Penerbit Mahkamah Konstitusi, 2007), hlm. 150.

<!–[if !supportFootnotes]–>[18]<!–[endif]–> Kata tafsir berasal dari akar kata Fasr atau dibaca ’fassara’ yang bermakna memberikan penjelasan atau menafsirkan. Mengenai hal ini dapat dibaca dalam Opcit, Ahmad Syurbasyi, hlm. 7.

<!–[if !supportFootnotes]–>[19]<!–[endif]–> Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, (Yogyakarta: Penerbit UII Press, 2005), hlm. 78.

<!–[if !supportFootnotes]–>[22]<!–[endif]–> John Z Loudoe, Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, (Jakarta : Penerbit Bina Aksara, 1985), hlm. 82.

<!–[if !supportFootnotes]–>[24]<!–[endif]–> Al-Qur’an Surah An-Nisaa: 82.

<!–[if !supportFootnotes]–>[27]<!–[endif]–> Mahkamah Agung Amerika memiliki kewenangan menafsirkan konstitusi sebagaimana Mahkamah Konstitusi di Austria dan Indonesia.

<!–[if !supportFootnotes]–>[29]<!–[endif]–> Al-Qur’an Surah ke-2 ayat 151.

<!–[if !supportFootnotes]–>[30]<!–[endif]–> John Roland, Principles of Constitutional Interpretation, http://www.constitution.org, diakses tanggal 12 Januari 2008.

<!–[if !supportFootnotes]–>[31]<!–[endif]–> Opcit, Ahmad Syurbasyi, Study Tentang Sejarah…,hlm.31

<!–[if !supportFootnotes]–>[33]<!–[endif]–> Makna ilmu konstitusi modern dalam hal ini adalah keilmuan mengenai undang-undang tertinggi yang dipahami melalui teori-teori yang dikembangkan oleh para pemikir-pemikir barat.

<!–[if !supportFootnotes]–>[34]<!–[endif]–> Edwin Meese III, Interpreting the Constitution, dalam Jack N. Rakove (editor), Interpreting the Constitution, The Debate over Original Intent, (Boston: Northeastern University Press, 1990), hlm. 15.

<!–[if !supportFootnotes]–>[35]<!–[endif]–> Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), hlm.46.

<!–[if !supportFootnotes]–>[36]<!–[endif]–> Bandingkan dengan Opcit, Ahmad Syurbasyi, Study Tentang Sejarah…,hlm.32.