Perubahan Konstitusi Melalui Tafsir MK

oleh:

MK sidang

Saldi Isra dan Feri Amsari

(Dimuat dalam Jurnal Konstitusi PUSaKO FHUA vo. 1. no.1 Nov 2008)

Abstract

A case of Marbury versus Madison in The Supreme Court of America is a starting point for constitutional interpretation that knows in many theories of constitutional law. Indonesia, throws its third amendment of UUD 1945, gave a birth to Constitutional Court (MK) that has power to interpret the constitution. MK as a new judicial power body also comes with another problem for Indonesia constitutional law system. MK interpretation from its decision makes some changes to the constitution with onbewust (without consciously). This paper tries to explain how the decisions of MK make a new meaning for the article from the constitution, UUD 1945. Identical condition also happens in many countries that have a judicial body which power to interpret the constitution. Thus, the existence of MK in Indonesia has encouraged discourses on constitutional issues that need to be discussed among the Indonesian constitutional lawyers.

Model Perubahan Konstitusi

Perubahan konstitusi pada dasarnya oleh George Jellinek[1] dibagi menjadi dua, yaitu; pertama, melalui prosedur formal (verfassungsanderung) dan kedua, melalui cara-cara informal (verfassungswandlung).[2] Perubahan formal[3] adalah perubahan yang mekanismenya telah diatur di dalam konstitusi suatu negara sedangkan perubahan di luar ketentuan konstitusi disebut sebagai perubahan informal atau melalui kondisi yang disebut Djokosutono secara onbewust (lambat-laun).[4] Menurut Soehardjo Sastrosoehardjo, verfassungsanderung dimaknai sebagai bentuk perubahan yang sesungguhnya, di mana terjadi perubahan terhadap pokok-pokok pikiran, asas-asas, bentuk negara, sistem pemerintahan dan lainnya.[5] Semenara itu, verfassungswandlung adalah perubahan makna ataupun penafsiran ketentuan dalam konstitusi yang tidak menyimpang dari ketentuan pokok serta asas-asas yang termaktub di dalamnya.[6]

C.F. Strong membagi verfassunganderung ke dalam beberapa cara yang umumnya ditentukan dalam konstitusi di pelbagai sistem ketatanegaraan. Cara-cara perubahan konstitusi secara formal ‘ala’ Strong tersebut ialah:[7] (a) by the ordinary legislature but under certain restrictions, perubahan melalui lembaga legislatif biasa tetapi melalui aturan-aturan tertentu, misalnya oleh Indonesia; (b) by the people through a referendum, perubahan konstitusi yang dilakukan dengan persetujuan rakyat (referendum) melalui pemungutan suara, terjadi misalnya pada masa peralihan republik keempat Prancis menuju konstitusi republik kelima di bawah pimpinan Jenderal Charles de Gaulle; (c) by a majority for all units of a federal state, sistem yang menentukan perubahan konstitusinya melalui suara-suara pada negara-negara bagian pada sebuah negara federal, terjadi misalnya pada Amerika Serikat; (d) by special convention, konvensi yang dimaksudkan dalam bagian ini bukanlah sebuah kebiasaan (convention) ketatanegaraan, melainkan adalah sebuah lembaga khusus (special convention).

Dalam literature-literatur ketatanegaraan modern pembahasan mengenai proses perubahan formal dari konstitusi begitu banyak. Secara teori hukum tata negara, posisi perubahan konstitusi melalui cara formal pun tidak menimbulkan banyak perbedaan pendapat. Selama implementasi proses perubahan berkesesuaian dengan aturan dalam konstitusi, maka pasal-pasal perubahan konstitusi berlaku tanpa banyak perdebatan. Walaupun perubahan konstitusi tersebut masih menjadi perdebatan, namun perubahan konstitusi tetap legal. Suasana berbeda akan ditemui dalam pembahasan perubahan konstitusi secara informal, dikarenakan sifatnya yang accidental.

K.C. Wheare menyatakan bahwa perubahan konstitisi ada 4 (empat) metode, yang berbeda dengan metode Strong, yaitu:[8] (a) some primary forces; (b) formal amendment; (c) judicial interpretation; (d) usage and convention. Perbedaan cara perubahan konstitusi yang dikemukakan oleh Strong dan Wheare tersebut terletak pada dua sudut pandang. Strong melihat terjadinya perubahan konstitusi melalui proses yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri, sedangkan Wheare membagi perubahan konstitusi berdasarkan kondisi atau situasi yang menyebabkan terjadinya perubahan konstitusi. Strong juga membatasi perubahan konstitusi tersebut kepada proses formal, namun tidak melihat kondisi luar biasa yang mungkin saja dapat terjadi dalam perkembangan ketatanegaraan.

Pada perubahan konstitusi secara informal, menurut K.C. Wheare, terdapat kekuatan-kekuatan yang mampu menimbulkan perubahan konstitusi itu sendiri. Kekuatan itu sendiri oleh Wheare dibagi menjadi dua, yaitu; pertama, kekuatan yang dapat menciptakan berubahnya kondisi di suatu negara. Kekuatan itu memang tidak merubah kalimat-kalimat dalam konstitusi secara eksplisit, namun kekuatan tersebut mampu menciptakan kondisi yang dapat merubah makna atau kestabilan supremasi konstitusi. Kedua, kekuatan yang mampu menciptakan kondisi sehingga terlaksananya perubahan konstitusi secara formal, melalui interpretasi hakim dan melalui konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan.

Wheare juga menjelaskan mengenai beberapa kekuatan-kekuatan yang dapat merubah konstitusi tersebut. Misalnya, dalam kondisi perang berkecamuk mendorong negara federal cenderung menjadi negara kesatuan. Kewenangan-kewenangan negara bagian dalam masa damai bisa berubah menjadi kewenangan negara federal dalam kondisi perang. Akibatnya, kekuasaan menjadi sangat sentralistik yang merupakan ciri pokok negara kesatuan. Hal itu menurut Wheare bukan dikarenakan berubahnya ketentuan dalam konstitusi, melainkan kondisi tersebut menyebabkan pemerintah mengabaikan konstitusi demi kepentingan yang lebih tinggi yaitu perlindungan negara.[9] Pengabaian konstitusi dalam kondisi tersebutlah yang menyebabkan konstitusi telah berubah secara informal.

Peristiwa lainnya yang dapat memaksa terjadinya perubahan konstitusi secara informal adalah melalui social force adalah revolusi, coup d’etat, putsch, convention, dan ditambahkan Djokosoetono melalui interpretasi. Perubahan UUD 1945 melalui interpretasi tersebut juga pernah terjadi pada masa Orde Baru bahkan Orde Lama. Harun Alrasid mengemukakan bahwa hal itu terjadi akibat terdapatnya aturan lain, seperti Ketetapan (TAP) MPR, yang mengatur mengenai hal-hal yang tidak jelas dipaparkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Sependapat dengan Harun Alrasid, Mohammad Fajrul Falaakh memberikan gambaran mengenai perubahan konstitusi melalui praktik di luar ketentuan pasal-pasal konstitusi namun dapat diterima secara luas pemberlakuannya. Fajrul Falaakh mencontohkan kondisi tersebut ketika terjadinya perubahan sistem pemerintahaan presidensil menjadi parlementer ketika di awal kemerdekaan Indonesia.[10]

Fajrul Falaakh juga menganggap MPR ketika pada masa Orde Baru dapat dengan mudah melakukan perubahan konstitusi, baik melalui penafsiran maupun penambahan ketentuan asli.[11] Perubahan konstitusi melalui tindakan hukum MPR tersebut menurut Harun Alrasid dapat dilihat dari contoh-contoh sebagai berikut:[12]

1. Penambahan syarat umur pada calon Presiden pada TAP MPR,[13] sehingga terjadi perubahan terhadap Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen), sehingga bunyinya menjadi; “Presiden dan Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli yang berumur sekurang-kurangnya 40 tahun.”

2. MPR melalui TAP MPR No. I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib yang juga mengatur mengenai proses pengambilan keputusan telah menyebabkan terjadinya perubahan makna teks Pasal 2 Ayat (3) UUD 1945 (sebelum amandemen) menjadi, “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan cara musyawarah untuk mufakat atau pemungutan suara dengan mengutamakan cara pertama.”

3. Dalam hal berkaitan dengan kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden telah pula merubah Pasal 8 UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi berbunyi sebagai berikut; “Jika Presiden mangkat, berhenti, tidak dapat melakukan kewajiban, atau diberhentikan, maka ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”.

4. Dalam hal kekosongan hukum mengenai pengisian jabatan Wakil Presiden telah menyebabkan terjadinya perubahan UUD 1945 menjadi berbunyi seperti berikut ini; “Jika Wakil Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibanya, atas permintaan Presiden dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, MPR mengadakan sidang istimewa untuk memilih Wakil Presiden baru yang memegang jabatannya selama sisa masa jabatan Wakil Presiden yang digantikannya”.

5. Kemudian Harun Alrasid memberikan contoh telah terjadinya perubahan konstitusi pada masa Orde Lama yang berkaitan dengan masuknya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang sebelumnya bernama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sebelumnya bernama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) sehinga perubahan tersebut menyebabkan Pasal 10 UUD menjadi berbunyi sebagai berikut; “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara”.

Menurut Harun Alrasid sesungguhnya masih terdapat beberapa perubahan lain namun kelima contoh tersebut telah cukup membuktikan bahwa telah terjadi perubahan UUD di luar ketentuan perubahan yang diatur oleh UUD 1945 itu sendiri.[14] Dari kesimpulan Harun Alrasid tersebut diatas, nyatalah bahwa perubahan konstitusi tidak dapat tidak pasti akan terjadi. Pensakralan UUD 1945 selama masa Orde Lama maupun Orde Baru mengakibatkan dilakukannya perubahan secara ‘sembunyi-sembunyi’ demi perkembangan kondisi ataupun kepentingan penguasa ketika itu melalui pelbagai cara (contohnya, melalui TAP MPR).

Jika ditinjau suasana ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD 1945, juga terdapat kemungkinan perubahan informal konstitusi, terutama sebagaimana telah dikemukakan oleh Djokosoetono dan Wheare di atas, yaitu melalui interpretasi hakim. Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) membuka ruang terjadi interpretasi konstitusi oleh para hakim. Penafsiran oleh lembaga judicial tersebut diberikan melalui kewenangan pengujian produk hukum (toetsingrecht). Toetsingrecht oleh lembaga peradilan (judicial review) sendiri menimbulkan perdebatan panjang bagi para pakar hukum tata negara dipelbagai negara.

Judicial Review sebagai Kekuasaan Peradilan

Setelah kasus Marbury Vs. Madison,[15] pelbagai perdebatan mengenai judicial review dan lembaga apakah yang patut melakukan review terus terjadi. Michel Allen dan Brian Thompson memberikan pemahaman mengenai kekuasaan pengujian (review) tidak hanya dimiliki oleh lembaga peradilan tetapi juga lembaga legislatif (misalnya house of lord di Inggris) dalam upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pembentukan perundang-undangan. Selengkapnya Allen dan Thompson berpendapat sebagai berikut:[16]

The power of judicial review may be defined as the jurisdiction of the superior courts (the high court, the court of appeal and the house of lord) to review the acts, decisions and omissions of public authorities in order to establish whether they have exceeded or abused their powers.

Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan pengujian tersebut dikenal dengan istilah toetsingrecht yang dipopulerkan oleh Sri Soemantri.[17] Dari pandangan Allen dan Thompson di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht, yaitu; (a) toetsingrecht yang merupakan kewenangan peradilan atau dikenal dengan judicial review; (b) toetsingrecht yang merupakan kewenangan legislatif atau legislative review; dan (c) toetsingrecht yang merupakan kewenangan eksekutif atau executive review.

Di Amerika perdebatan ide mengenai judicial review tidak hanya terletak pada lembaga pelaksana kewenangan judicial review undang-undang semata tetapi juga terhadap substansi ide bahkan sejarah lahirnya. Menurut Leonard W. Levy, persoalan legitimasi tentu saja bermula dari fakta bahwa para penyusun Konstitusi (Amerika) lupa menentukan agar Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika diberi wewenang untuk menjalankan judicial review sejak awal pembentukan konstitusi. Jika mereka memang ingin agar pengadilan memiliki wewenang itu, mengapa wewenang itu tidak diberikan (sejak 1787-ketika konstitusi Amerika disusun).[18]

Hal yang berbeda terjadi di Indonesia. Ketika para penyusun konstitusi (framers of constitution) Indonesia menyusun sendi-sendi bernegara dalam Undang-Undang Dasar 1945, ide pengujian konstitusional telah pernah diperdebatkan dalam sidang BPUPKI (Badan Pekerja Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Moh. Yamin mengusulkan agar terdapat sebuah mekanisme pengujian keabsahan isi UU terhadap konstitusi, adat dan syari’ah oleh lembaga tertinggi kehakiman.[19] Yamin mengemukakan mengenai lembaga tersebut sebagai berikut:[20]

“Mahkamah inilah (Mahkamah Agung: penulis) yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding undang-undang, maka balai Agung inilah yang akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syariah dan undang-undang dasar”.

Namun ide Yamin tersebut dibantah oleh Soepomo yang menganggap bahwa belum pernah ada konsesus di antara ahli-ahli tata negara tentang judicial review, di samping para ahli hukum Indonesia belum memiliki pengalaman mengenai proses judicial review.[21] Menurut Todung Mulya Lubis, pandangan Soepomo tersebut dikarenakan anggota framers of constitusion itu tidak membaca mengenai perdebatan sengit kasus Marbury Vs. Madison pada the Supreme Court Amerika Serikat.[22] Namun, sesungguhnya Soepomo bukannya tidak mengetahui tentang konsep review by the judicial body tersebut, berikut selengkapnya ungkapan Soepomo[23] pada rapat BPUPKI:

“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan Tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan special, constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu”.

Dari uraian tersebut Soepomo menyadari betul keberadaan lembaga peradilan yang memiliki kewenangan uji konstitusionalitas, nampaknya dari perdebatan yang ada sepertinya Soepomo masih meragukan efektifitas uji konstitusionalitas oleh sebuah lembaga peradilan, sedangkan ketika itu terdapat lembaga MPR sebagai representasi tertinggi dari rakyat. Pernyataan eksplisit Soepomo tentang keterbatasan ahli pada waktu itu terkesan tidak masuk akal, dikarenakan pada masa itu banyak founding fathers yang ahli hukum, misalnya Moh. Yamin yang ahli konstitusi dan ketatanegaraan Asia serta Soepomo sendiri yang juga bergelar ‘misteerunderrechten’. Kemungkinannya adalah Soepomo khawatir jika ke depan terjadi pertikaian pemahaman konstitusi antara MPR dan MA sebagai penafsir konstitusi. Pada perspektif tersebut Soepomo mungkin terpengaruh diskusi mengenai kewenangan lembaga peradilan dalam menentukan keabsahan sebuah perundang-undangan.

Ide yang menempatkan lembaga yudikatif sebagai lembaga yang menentukan apakah sebuah produk perundang-undangan layak diberlakukan atau tidak memang masih menimbulkan pelbagai perdebatan. H. L. A. Hart mengemukakan bahwa paham “a supreme tribunal has the last word in saying what the law is” akan menjadi terbantahkan jika putusan pengadilan tersebut adalah putusan yang salah. Putusan salah yang menghapuskan kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan legislatif tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum dikarenakan tidak terdapat hak dan kewajiban sebagai konsekuensi dari kesalahan tersebut.

Charles L. Black bahkan menganggap bahwa keputusan Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus Marbury Vs. Madison adalah kesalahpahaman dalam melihat fungsi lembaga yudikatif. Black menyatakan bahwa fungsi utama dari pengadilan adalah memberikan keabsahan (validation), bukan membatalkan keabsahan (invalidation) UU yang dibuat kekuasaan negara. Black memahami bahwa antara legislatif sebagai pembuat UU dan pemerintah sebagai pelaksana UU akan menimbulkan perbedaan pemahaman menafsirkan makna dari UU. Sehingga kedua lembaga (legislatif dan eksekutif) membutuhkan suatu interpretasi UU yang memiliki ukuran baku dan absah. Di sinilah letak fungsi pengadilan (yudikatif) yang mampu memberikan keabsahan interpretasi UU, bukan membatalkan keabsahan itu sendiri. Hal itu sesuai dengan pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sejajar (horizontal) dan masing-masing wajib merujuk kepada ketentuan yang lebih tinggi, yaitu konstitusi (vertikal).[24] Bahkan Jaakko Husa mengkritik perspektif Amerika yang beranggapan bahwa judicial review adalah cara yang paling dibutuhkan untuk menegakkan paham konstitusionalisme.[25] Padahal akibat pemahaman seperti itu, menurut Husa, menimbulkan persoalan terhadap legitimasi politik (legislatif maupun eksekutif).[26]

Kritik yang lebih tajam telah lebih dulu dikemukakan oleh Montesquieu dan Immanual Kant, bahwa hakim bukanlah subjek hukum yang mandiri dan dapat menentukan hukum sesuka hatinya, melainkan hakim hanyalah corong atau perpanjangan lidah dari undang-undang (bouche de la loi).[27] Logemann juga mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak para pembuat undang-undang[28] walaupun penafsiran hukum adalah kewajiban hukum dari hakim. Oleh karena itu, sebagai corong/pelaksana undang-undang adalah mustahil hakim dapat menghapuskan sebuah undang-undang. Lino A. Graglia mengemukakan bahwa fungsi hakim hanyalah menjalankan hukum (to apply the law) bukan membuat hukum (not to make the law). [29] Charles L. Black memaparkan mengenai hal itu sebagai berikut:[30]

“The prime and most necessary function of the Court has been that of validation, not that of invalidation.  What a government of limited powers needs, at the beginning and forever, is some means of satisfying the people that it has taken all steps humanly possible to stay within its powers.”

Pandangan-pandangan mengenai kewenangan lembaga peradilan untuk ‘menilai’ cacat hukum produk legislasi lainnya tetap saja masih menimbulkan perdebatan dan tanda tanya. Pertanyaan ilmiah (ilmu hukum) yang seringkali mengemuka pasca putusan Marshall dalam kasus Maarbury Vs. Madison sebagai berikut:[31]

  1. Apakah memang ide judicial review itu tepat untuk dipraktikan? Haruskan 9 hakim yang tidak dipilih rakyat (sebagai pemegang kedaulatan) memiliki wewenang untuk menyatakan apa yang harus dilakukan oleh lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat?
  2. Apakah peradilan akan lebih mudah untuk menghalangi setiap konsensus dengan prinsip-prinsip kuno yang mereka anut atau untuk mencegah kelemahan politik dari kekuasaan mayoritas yang seringkali bertindak oppresif (menekan)?
  3. Apakah hakim, terlindungi dengan jabatan seumur hidup (prinsip ‘during good behavior’ yang dianut untuk masa jabatan hakim di Amerika) dan digambarkan secara umum berasal dari golongan terdidik, lebih mudah untuk merefleksi dan lebih mampu menghilangkan antusiasme dibandingkan dengan jalannya kewenangan legislatif?
  4. Apakah Marbury beranggapan bahwa anggota legislatif ataupun pejabat lembaga eksekutif tidak memiliki pertanggungjawaban untuk menilai konstitusionalitas dari tindakan mereka sendiri?
  5. Bisakah kita memiliki sebuah sistem pemerintahan yang dapat berjalan dengan baik tanpa adanya proses judicial review?

Pandangan yang mempertanyakan kewenangan judicial review tersebut dijawab oleh pakar lain dengan memberikan logika pentingnya fungsi review oleh lembaga peradilan itu sendiri. Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay memaparkan bahwa independensi lembaga peradilan dari intervensi pelbagai kepentingan dan kekuasaan hanya dapat terlaksana apabila lembaga yudikatif tersebut memiliki kewenangan judicial review. Hal itu dianggap berguna bagi yudikatif dalam menjalankan hubungan dengan lembaga-lembaga yang sejajar. Friedman menjelaskan selengkapnya sebagai berikut:[32]

Judicial independence requires the exercise of judicial review to protect the court system against interference from states, military tribunals, plaintiffs, lawyers, and the mass media of communication, especially the press. Self restraint may be practiced by the judiciary in relation to states and localities as well as in relation to the President, Congress and administrative bodies.

Lebih penting lagi menurut Friedman dan Macaulay, pelaksanaan judicial review akan melindungi sistem peradilan dari campur tangan atau tekanan-tekanan (misalnya politik) dari luar lembaga peradilan. Jika indepensi adalah norma atau atribut penting dalam dunia peradilan maka penggunaan judicial review untuk pencapaian tersebut jelas diperlukan. Friedman dan Macaulay menjelaskannya seperti berikut ini:[33]

More importantly, it is through its exercise of judicial review that the Court can protect the judicial system from undue external pressures. Thus, structural factors would seem to make this a “pivotal” norm. If judicial independence is a pivotal role attribute, we should expect to find it, and the necessary use of judicial review included in philosophies of both Justice Jackson and Douglas.

Paham Tyipis Logicisitis yang menganggap hakim adalah corong undang-undang dibantah oleh beberapa pakar. Soedikno Mertokusumo menjelaskan bahwa pandangan tersebut telah ‘ditinggalkan’ sejak tahun 1850.[34] Perhatian setelah dekade tersebut ditujukan kepada penemuan hukum yang lebih mandiri oleh hakim. Hakim tidak lagi dianggap sebagai corong undang-undang. Pandangan baru ini disebut sebagai paham materiil yuridis atau otonom dengan tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendel Holmes dan Paul Scholten.[35] Pandangan Holmes dan Scholten didasari kepada pemahaman bahwa undang-undang tidak mungkin lengkap sebagai sebuah tahap dalam pembentukan hukum sehingga harus dicari pelengkapnya dalam dunia praktis melalui penemuan hukum oleh hakim.[36] Penguatan terhadap wilayah peradilan tersebut bukan berarti hakim dapat bertindak sesuka hatinya. Peradilan tetap harus menjadi corong keadilan rakyat dengan meletakkan supremacy kebenaran dan keadilan di puncak pemikiran para hakim. Henry Steele Commager memberikan sebuah perbandingan sederhana kenapa seorang hakim layak menghapuskan sebuah produk perundang-undangan buatan legislatif. Menurut Commager adalah tidak dapat dipungkiri bahwa para hakim lebih berpengetahuan dalam bidang hukum dibandingkan para anggota legislatif apalagi eksekutif.[37]

Kekuasaan kehakiman yang bertindak sebagai negative legislator membuat para pembentuk undang-undang saat ini cenderung lebih suka membentuk produk perundang-undangan yang tidak kasuistis dan bersifat umum (flucht in die generalklausel).[38] Sehingga terjadi pergeseran dari hakim yang hanya corong undang-undang (normgerechtigkeit) ke arah hakim bebas (einzelfallgerechtigkeit). Pergerakan paham ini mengubah arah cara berpikir yang pada mulanya mengacu kepada sistem (systeemdenken) kemudian beralih menjadi cara berpikir yang mengacu kepada masalahnya (problemdenken). Artinya hakim tidak lagi semata-mata harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan namun lebih kepada bagaimana masalah pencari keadilan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Alasan lain adalah rasionalisasi yang dikemukakan oleh James Bradley Thayer, seandainya lembaga legislatif mengesahkan sebuah RUU yang inkonstitusional,[39] apakah harus memutuskan sah ketidakkonstitusionalannya tersebut yang jelas-jelas meragukan.[40] Oleh karena itu, harus dipahami bahwa tugas lembaga legislatif dan yudikatif berbeda namun saling mengawasi dan menghargai sesuai dengan semangat mekanisme check and balances system. Perbedaan tugas itu dikemukakan dengan jelas oleh Kusumadi Pudjosewojo bahwa hakim menentukan hukum itu secara konkrit (in concreto) dengan peristiwa yang ada sedangkan para pembuat undang-undang (legislatif) menentukan norma abstraknya (in abstracto).[41] Pandangan Pudjosewojo tersebut bermakna hukum abstrak hanyalah alat yang mengantarkan hakim mempertimbangkan sebuah bentuk hukum yang diterapkan secara konkrit, bisa jadi putusan hakim akan berkesesuaian dengan norma abstrak dan bisa pula tidak. Dalam hal ini, hakim tentu saja dapat mengubah ataupun mengabaikan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan demi menciptakan keadilan (hukum) yang konkrit.

Terlepas dari pelbagai pandangan tersebut di atas, peristiwa Marbury Vs. Madison setidaknya sudah tercatat dalam sejarah penegakan hukum yang berkeadilan. Bernard Schwartz telah menempatkannya sebagai putusan hakim terbaik sepanjang sejarah penegakkan hukum di Amerika.[42]

Penafsiran Konstitusi oleh Hakim (Judicial Interpretation)

Kewenangan judicial review telah menimbulkan sebuah kewenangan yang samar atau dengan kata lain menciptakan kewenangan baru, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Oleh karena itu sering dinyatakan bahwa constitutional court itu adalah “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution.” Disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Kemudian disebut sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi dikarenakan kewenangan judicial review menciptakan kewenangan tersebut. Kewenangan menafsirkan itu timbul dari sebuah tafsir pula bahwa bagaimana bisa melakukan review terhadap sebuah undang-undang agar berkesesuaian dengan konstitusi apabila tidak diberi kewenangan memaknai dan menafsirkan konstitusi itu sendiri. Artinya kewenangan tafsir konstitusi itu lahir juga dari sebuah penafsiran.

Teori atau cara berpikir hakim dalam menafsirkan hukum terutama konstitusi maupun produk legislasi disebut sebagai penafsiran hakim.[43] Penafsiran oleh hakim tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu judicial review dan constitutional review. Pembedaan itu dilakukan dengan beberapa alasan: pertama, constitutional review bukanlah hak tunggal dari lembaga peradilan,[44] wewenang uji konstitusional tersebut bergantung kepada ketentuan konstitusi masing-masing negara. Terdapat konstitusi yang memberikan uji konstitusionalitas kepada sebuah Dewan Konstitusi seperti Prancis atau oleh lembaga legislatif (MPR) yang pernah dianut Indonesia sebelum perubahan UUD 1945. Kedua, istilah judicial review dapat pula mengarah kepada uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (Judicial review refers to the ultimate authority of the Supreme Court to judge whether [a] a state law or [b] a national law),[45] sedangkan penggunaan istilah constitutional review hanya sesuai dengan proses uji konstitusionalitas terhadap produk hukum di bawah konstitusi.[46] Berdasarkan argumentasi di atas dapat pula digunakan istilah yang lebih tepat sebagaimana yang dikemukakan oleh Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet yaitu constitutional judicial review, pengujian konstitusional yang dilakukan lembaga peradilan.[47]

Hak untuk memberikan tafsir terhadap konstitusi maupun produk hukum lainnya memang bukanlah kewenangan monopoli dari lembaga peradilan.[48] Namun agar penafsiran terhadap teks konstitusi memiliki kekuatan hukum yang dapat diakui seluruh elemen negara, maka peradilan diberikan kewenangan untuk memberikan tafsir tersebut. Beberapa pakar memiliki landasan penting kenapa hanya peradilan yang berhak melakukan tafsir terhadap produk hukum.

Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von Savigny, seorang pakar hukum Jerman yang mengajarkan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang. Menurut Savigny lebih lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat digunakan semaunya melainkan harus terpusat kepada penafsiran undang-undang.[49] Interpretasi atau menafsir undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum sebenarnya adalah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio terhadap suatu ketentuan undang-undang.[50] Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan penafsir undang-undang yang memahami tujuan hukum sesungguhnya dan keputusannya memiliki legitimasi untuk mengikat, maka diserahkan wewenang tersebut kepada lembaga peradilan. Apalagi dikarenakan lembaga peradilan adalah tempat terakhir mencari keadilan dan tempat penyelesaian pelbagai perkara.

Penafsiran melalui sebuah proses peradilan (judicial interpretation) dimaknai sebagai sebuah teori atau metode cara berpikir yang menjelaskan bagaimana peradilan harusnya memberikan tafsir hukum terhadap sebuah undang-undang terutama undang-undang dasar.[51] Metode penafsiran tersebut bukanlah berdasarkan ketentuan baku sebagaimana dipahami secara eksakta. Penafsiran hukum bahkan disebut sebagai sebuah seni (interpretation is an art).[52] Disebut seni karena melakukan penafsiran hukum tidak bisa melihat suatu masalah “A”, maka ditafsirkan “A”. Pada suatu saat penafsiran hukum bisa sangat spesifik, namun pada saat yang lain penafsiran bisa menjadi sangat abstrak bahkan “bermuka dua”.[53] Diperlukan banyak metode pemikiran dan alat untuk melakukan sebuah penafsiran. Upaya merangkai seluruh elemen untuk membantu sebuah penafsiran hukum yang baik itulah yang disebut seni.

Ada hal yang menarik untuk dipahami dalam masalah melakukan interpretasi konstitusi. Pada amandemen ke-14 (empat belas) Konstitusi Amerika terdapat jaminan kesamaan setiap warga negara di hadapan hukum (equality before the law). Poin tersebut sangat sulit diberikan tafsiran, apalagi pemahaman dari masyarakat awam bahwa persamaan di hadapan hukum tersebut adalah perlakuan yang serupa tanpa beda. Dalam hal kejadian di Amerika tersebut, terdapat beberapa pertanyaan: apakah dalam memberlakukan setiap orang sama di hadapan hukum itu berarti memperlakukannya dengan sama (identik)? atau perlakuan yang sama itu berarti diperlukan tindakan yang berbeda pada masing-masing kasus?[54] Dalam sejarah peradilan Amerika pemahaman equal tersebut menyebabkan peradilan memberikan keputusan yang berbeda-beda pula pada setiap kasus. Hal tersebut memperlihatkan bahwa di dalam konstitusi bisa saja terdapat kalimat-kalimat ambigu. Oleh karena itu, hakim memiliki peran penting untuk ”menghilangkan” keraguan terhadap ketentuan konstitusi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh H. L. A. Hart, Chief Justice Hughes dari Supreme Court Amerika menyatakan bahwa “the Constitution is what the judge say it is![55]

Pendekatan dalam Penafsiran Konstitusi

Metode-metode dalam penafsiran konstitusi atau disebut juga constitutional construction adalah beragam. Para ahli juga mengemukakan banyak pandangan mengenai metode ini. John H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff mengemukakan beberapa metode utama dalam melakukan penafsiran konstitusi sebagai berikut: interpretivism/non-intepretivism, textualism, original intent, stare decisis, neutral principles, dan balancing[56] atau kombinasi dari beberapa metode tersebut.[57]

Para hakim menggunakan pandangan atau kemampuan berdasarkan pemahaman mereka terhadap hukum itu sendiri. Artinya, masing-masing hakim berbeda pula dalam melakukan penafsiran konstitusi, sehingga suatu saat para hakim akan saling bertentangan dalam menafsirkan konstitusi dalam perkara tertentu.[58] Namun, terdapat enam metode interpretasi konstitusi yang diterima luas oleh para pakar sebagaimana dikemukakan oleh Garvey dan Aleinikoff diatas.[59] Soedikno Mertokusumo juga mengemukakan bahwa terdapat metode penemuan hukum melalui penafsiran oleh hakim, ialah: interpretasi gramatikal, interpretasi sitematis atau logis, interpretasi historis, interpretasi teleologis atau sosiologis.[60] Pandangan Soedikno Mertokusumo tersebut umum digunakan dalam kaidah tafsir hukum secara umum. Namun, dalam metode tafsir konstitusi metode interpretasi yang digunakan sedikit berbeda walaupun pada intinya penafsiran hukum tersebut dapat pula digunakan untuk itu.

Walaupun ada perbedaan metode dalam menafsirkan konstitusi namun terdapat lima sumber sebagai landasan bagi penafsiran konstitusi ialah:[61] (1) the text and structure of the Constitution, yang diperhatikan di sini adalah ‘bunyi’ dari ketentuan di dalam konstitusi atau juga disebut sebagai the literal approach; (2) intentions of those who drafted, voted to propose, or voted to ratify the provision in question, yang dilihat adalah maksud dibentuknya konstitusi dan pandangan dari penyusun konstitusi. Oleh karena itu, penafsir perlu memahami sejarah pembentukan sebuah konstitusi, dalam situasi seperti apa konstitusi dibentuk dan pandangan atau ideologi apa yang dianut oleh para framers of constitution. Sumber ini juga dikenal dengan sebutan the broad and purposive approach; (3) prior precedents, di sini yang diperhatikan adalah kasus-kasus terdahulu yang merupakan yurisprudensi dalam menafsirkan konstitusi terhadap kasus-kasus tertentu atau disebut juga dengan the doctrine of “harmonious interpretation”; (4) the social, political, and economic consequences of alternative interpretations, hakim dalam menafsirkan konstitusi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kondisi bernegara, seperti kondisi politik dan ekonomi; (5) natural law, penafsiran yang bersumber pada natural law diarahkan kepada ketentuan-ketentuan agama, nilai-nilai moral yang dianut masyarakat. Penafsiran hakim atas konstitusi sesungguhnya didasari pula pada pandangan hakim terhadap konstitusi itu sendiri, apakah hakim melihat konstitusi tersebut sebagai the living constitution atau sebagai the moral constitution.[62]

Tiga poin pertama dianggap oleh beberapa pakar sebagai sumber yang sangat sesuai untuk menjadi pedoman dalam menafsirkan konstitusi.[63] Namun, dalam melihat poin yang akan dijadikan kerangka utama dalam menafsirkan di antara ketiga sumber tersebut sangat tergantung dengan kasus dan kondisi yang berbeda pula. Para penafsir konstitusi menyadari konsekuensi dari pilihan menafsirkan konstitusi bahwa tidak akan pernah ditemukan keseragaman dari seluruh sumber,[64] metode maupun teori, walaupun setiap sumber pertimbangan tafsir tersebut memiliki kedudukan yang seimbang. Dalam praktik penafsiran yang terjadi sering terjadi pengabaian terhadap beberapa sumber tafsir.

Sumber interpretasi yang berasal dari natural law (hukum agama, ketentuan-ketentuan kitab-kitab suci) dalam penafsiran konstitusi jarang sekali digunakan walaupun para penyusun konstitusi biasanya beranggapan bahwa sumber hukum tersebut layak menjadi pertimbangan.[65] Bagi hakim atau kalangan lain (akademisi maupun masyarakat umum) yang menafsirkan konstitusi lebih cenderung menggunakan sumber-sumber original yang berupa pendekatan text dan intention biasanya disebut sebagai kalangan originalist. Sedangkan hakim yang menggunakan pendekatan di luar pendekatan kalangan originalist disebut kelompok non-originalist.[66] Dalam praktik, pertentangan antara kalangan originalis dan non-originalis seringkali mengarah kepada tema, apakah dapat digunakan kecermatan peradilan untuk memastikan “fundamental rights” yang secara eksplisit tidak dilindungi oleh teks konstitusi.[67]

Perubahan UUD 1945 Melalui Tafsir MK

Kasus Madison Vs Marbury (1803) dalam ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara juga dipahami sebagai formula awal dari ide perubahan konstitusi melalui penafsiran oleh lembaga peradilan/hakim. Perkara tersebut juga menunjukkan bahwa perubahan konstitusi juga terjadi tanpa prosedur formal. K.C. Wheare memaparkan; “many important change in the working of a constitution occur without any alteration in the rules which regulate a government, whether they strictly legal or rules of custom and convention”.[68] Berdasarkan pernyataan Wheare tersebut, Ismail Suny mencoba mengaitkannya dengan posisi UUD 1945 bahwa memang telah terjadi perubahan radikal tanpa adanya amandemen terhadap teks Undang-Undang Dasar itu sendiri.[69]

Perubahan yang terjadi di luar ketentuan formal konstitusi yang melibatkan lembaga peradilan juga terjadi dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Perkara-perkara uji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 di MK mengakibatkan terjadinya perubahan UUD 1945 sebagaimana yang dijelaskan Ismail Suny di atas. Perubahan jenis ini juga dijelaskan oleh Wheare sebagai perubahan melalui judicial interpretation.

Pada perkara No. 008/PUU-II/2004 mengenai uji konstitusional UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 terdapat penafsiran MK yang mengubah secara tidak langsung teks UUD 1945 itu sendiri. Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

“Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, ‘serta mampu secara rohani dan jasmani’ untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”

Kalimat ‘mampu secara rohani dan jasmani’ didefenisikan oleh MK dengan tafsir: ’bahwasanya calon presiden dan wakil presiden harus dalam kondisi sehat secara rohani dan jasmani dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kenegaraan dimaksud’ (Putusan No. 008/PUU-II/2004 halaman 28). Secara tekstual tentu saja terdapat perbedaan yang jelas antara kata ‘mampu secara rohani dan jasmani’ dengan ‘harus dalam kondisi sehat’ secara rohani dan jasmani. Melalui Putusan ini, MK telah melakukan perubahan secara textual meaning terhadap Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945.

Dalam perkara No. 005/PUU-IV/2006 mengenai uji konstitusionalitas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Hakim Konstitusi memberikan penafsiran terhadap makna hakim yang dicantumkan Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945. MK dalam amarnya tidak memasukkan Hakim Konstitusi sebagai bagian dari kata ‘hakim’ dalam ketentuan Pasal 24 B UUD 1945. Sebaliknya menurut putusan MK tersebut Hakim Agung merupakan bagian dari Pasal 24 B UUD 1945.

Putusan MK tersebut secara tidak langsung telah mengubah bunyi Pasal 24 B Ayat (1) UUD 1945 dari berbunyi (original meaning): ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, menjadi bermakna (textual meaning): “Komisi Yudisial bersifa mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, kecuali Hakim Konstitusi ”.

Perkara yang menjadi pertentangan saat ini adalah pada putusan MK dengan No. 2 -3/PUU-V/2007 mengenai uji konstitusionalitas Pasal 80 Ayat (1), Pasal 80 Ayat (2) Huruf (a), Pasal 80 Ayat (3) Huruf (a), Pasal 81 Ayat (3) Huruf (a), Pasal 82 Ayat (10) Huruf (a), Pasal 82 Ayat (2) Huruf (a) dan Pasal 82 Ayat (3) Huruf (a) dari UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang mengatur mengenai Tindak Pidana Mati (death penalty/capital punishment). Pada perkara ini MK menafsirkan teks Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945 dengan memberikan pengertian lain dari original intent pasal-pasal tersebut.

Pasal 28 A berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Pasal 28 I Ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”

Terhadap ‘hak untuk hidup’ yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun tersebut MK memberikan tafsiran berdasarkan ketentuan Pasal 28 J Ayat (2) yang berbunyi:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”

Selanjutnya, MK berpendapat bahwa hukuman mati merupakan pembatasan yang ditetapkan UU No. 22 Tahun 1997 demi menegakkan ketertiban umum. MK memberikan textual meaning terhadap ketentuan Pasal 28 A dan 28 I tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.

Putusan-putusan tersebut juga memiliki permasalahan jika dilihat dari sudut Hukum Tata Negara, yaitu pertama, bagaimana kedudukan putusan tersebut dalam hierarki perundang-undangan Indonesia dan kedua, bagaimana kekuatan hukum putusan-putusan yang merubah UUD 1945 oleh MK, serta bagaimana pula kedudukan MK sebagai sebuah lembaga negara dalam ketatanegaraan Indonesia.

Penafsiran terhadap UUD 1945 sebenarnya juga dilakukan oleh DPR melalui pembentukan undang-undang (UU) sebagai aturan pelaksana dari konstitusi. Hal itu menimbulkan masalah karena kedudukan DPR sebagai lembaga yang ‘menafsirkan’ UUD 1945 melalui produk legislasinya akan mengalami pertentangan dengan interpretasi konstitusi oleh MK. Masalah tersebut merupakan sebuah kajian Hukum Tata Negara karena perlu dipahami sejauhmana kedudukan putusan MK tersebut, baik terhadap UUD 1945 maupun terhadap UU yang diundangkan oleh lembaga legislatif.

Pada perkara dengan No. 066/PUU II/2004 yang menguji konstitusionalitas Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dinyatakan bahwa Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan mengikat dan menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1987. Putusan yang menyebabkan Pasal 50[70] UU No. 24 Tahun 2003 tidak memiliki kekuatan mengikat tersebut merupakan sebuah penafsiran yang berbeda dari para pembuat UU (wetgever). Wetgever menginginkan MK hanya menguji konstitusionalitas UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, yaitu setelah 19 Oktober 1999 (amandemen pertama). Putusan tersebut menimbulkan perbedaan penafsiran konstitusi antara wetgever (DPR) dan MK. Sementara itu menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk UU. UU sendiri menurut Ilmu Perundang-undangan adalah penjabaran dari pasal-pasal UUD 1945.[71] Oleh karenanya, UU merupakan dokumentasi legal yang menafsirkan maksud dari pasal-pasal UUD 1945.

Dari beberapa putusan MK di atas, dapat dikelompokkan dua jenis putusan dalam proses uji konstitusional. Pertama, putusan yang menimbulkan makna baru terhadap teks UUD 1945. Kedua, putusan yang menyebabkan batalnya pasal-pasal atau seluruh ketentuan UU itu sendiri. Menurut Refly Harun posisi tafsir konstitusi yang memberi makna pada UUD pada dasarnya lebih tinggi dari UU karenanya fungsi tafsir tersebut hampir sama dengan penjelasan dari UUD. Deny Indrayana berpendapat bahwa dalam hal tafsir MK memberikan makna baru terhadap UUD maka putusan tersebut tidak dapat disamakan dengan penjelasan UUD 1945, fungsinya hanyalah sebagai sebuah tafsir semata. Senada dengan Deny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar juga tidak ‘berani’ terlalu jauh mengklasifikasikan putusan MK dalam hal memberikan makna yang berbeda dengan UUD. Walaupun Deny dan Zainal juga mengakui bahwa tafsir MK tersebut berlaku mengikat kepada seluruh elemen di bawah ketentuan konstitusi. Sedangkan dalam hal putusan MK mengubah atau membatalkan suatu bagian atau keseluruhan dari UU, maka Refly Harun, Deny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar sepakat bahwa putusan itu berlaku sebagaimana UU.

Putusan MK tersebut juga harus diketahui nilai kemanfaatannya bagi generasi masa depan bangsa Indonesia. Dalam konteks Amerika, C. Herman Pritchett mengatakan bahwa: “Marshall had defended the notion that constitutional meaning may legitimately change over time and that, within limits, each generation may adapt the constitution to its own needs”. [72] Penafsiran konstitusi diperlukan oleh masyarakat suatu bangsa dalam menghadapi perubahan zaman. Walaupun sebuah konstitusi itu terlihat lengkap, namun akan selalu timbul konflik, dari konflik hak asasi sampai sengketa kewenangan lembaga. Ketika konflik tersebut timbul, maka menjadi kewenangan lembaga peradilan untuk menyelesaikannya.[73]

Kata-kata konstitusi yang menurut Wheare[74] tidak begitu jelas (vague) atau bermakna ganda, bermanfaat untuk ditafsirkan sesuai kebutuhan dan keinginan bangsa pada saat itu. Hanya saja kemanfaatan tersebut perlu diatur dengan mekanisme yang jelas dan sesuai dengan teori-teori konstitusi yang dipahami secara luas.

Penutup

Perubahan UUD 1945 sesungguhnya telah memberikan nuansa baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dari ‘kerohanian’ yang feodalistik menjadi ‘suasana kebatinan’ yang lebih demokratis. Peralihan tersebut seringkali membuat beberapa kalangan tidak mampu menerima suasana itu begitu saja. Pembentukan MK dan pemberian fungsi tafsir konstitusional yang menjaga nilai-nilai konstitusi juga menghadapi kendala primodial dari kalangan yang terlena dengan mimpi kekuasan masa lalu. Namun harus disadari bahwa MK adalah bagian dari harapan menuju demokrasi yang lebih baik di masa depan.

Daftar Pustaka

A. Buku

§ Abu Daud Busroh, 1987, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan, Konstitusi Sembilan Negara, Jakarta, Penerbit P.T. Bina Aksara.

§ Abu Daud, Busroh dan Abubakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum Tatanegara, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.

§ Astim Riyanto, 2000, Teori Konstitusi, Bandung, Penerbit YAPEMDO.

§ Beny K Harman dan Hendardi (edt), 1991, Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, Jakarta, Penerbit YLBHI dan JARIM.

§ Bernard Schwartz, 1997, A Book of Legal Lists- The Best and Worst in American Law, Oxford University Press, New York.

§ Djoko Soetono, 2006, Kuliah Hukum Tata Negara, Penerbit In-Hill-Co, Jakarta.

§ H. A. S. Natabaya, 2006, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat MK-RI, Jakarta.

§ Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Aksara Baru, Jakarta.

§ Jack N. Rakove (edt), 1990, Interpreting the Constitution, Northeastern University Press, Boston, Amerika Serikat.

§ Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara-Jilid I, Sekjen Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

§ ————————, 2005, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta.

§ John H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, 1994, Modern Constitutional Theory, third Edition, West Publishing Co. St. Paul, Minn.

§ John Z. Loudoe, 1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.

§ K.C. Wheare, 2005, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya.

§ Kusumadi Pudjosewojo, 1976, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Penerbit Aksara Baru, Jakarta.

§ Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (edt), 1969, Law and the Behavioral Sciences, The Bobbs-Merrill Company, Inc. New York, USA.

§ Leonard W. Levy (Editor), 2005, Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung.

§ Michael Allen dan Brian Thompson, 2002, Cases and Materials on Constitutional and Administrative Law, Oxford University Press, United Kingdom.

§ Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tatanegara Indonesia, Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V. Sinar Bakti, Jakarta.

§ M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.

§ RM. A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

§ Soedikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyajarta.

§ Sotiros A. Barber, 1993, The Constitutional Judicial Power, The John Hopkins University Press, Baltimore and London.

§ Sri Soemantri, M., 1986, Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.

§ ——————-, 2006, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit P.T. Alumni, Bandung.

§ Walter Murphy, 2000, Constitutional Interpretation as Constitutional Creation: The 1999-2000 Harry Eckstein Lecture, University of California, Irvine.

§ Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, 1999, Comparative Constitutional Law, New York Foundation Press.

§ Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni.

B. Jurnal/Pidato Ilmiah

§ Jurnal Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No.2, Penerbit Centre for Strategic and International Studies.

§ Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Vol. 1 No.1, Juli 2004, Penerbit Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

§ Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume 2, Nomor 1, Juli 2005.

§ Juridica International VIII/2003, Joachim Sanden, Methods of Interpreting The Constitution; Estonia’s Way in an Increasingly Integrated Europe

§ Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan Praktik, Merupakan Pidato Purna Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada hari Sabtu, 20 Juli 1996 di Auditorium Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat.

C. Website

§ http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/06/opi01.html.

§ http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw/judicialrev.html.

§ Bandingkan dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation.

§ http://www.historyofsupremecourt.org/history/defines/overview.htm

§ http://repositories.cdlib.org/csd/00-05.

§ http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation.

§ Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr.

§ Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr..

§ http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html.

§ http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation,

§ http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html,

§ http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html.

§ http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,

§ http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation,

§ http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm.

§ http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm.

§ http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,

§ http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,

§ http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,

§ http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html.


[1] Astim Riyanto, Teori Konstitusi, (Bandung: Penerbit YAPEMDO, 2000), hlm. 581.

[2] Djoko Soetono, Kuliah Hukum Tata Negara, (Jakarta: Penerbit In-Hill-Co, 2006), hlm. 131. dan Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara-Jilid I, (Jakarta: Sekjen Mahkamah Konstitusi RI 2006), hlm. 145.

[3] Menurut Djokosoetono terdapat istilah lain yang digunakan oleh Logemann dalam membagi bentuk perubahan konstitusi; yaitu (1) functieverandering atau functiewijziging yang maknanya sama dengan verfassungsanderung, dan (2) functieverschuiving yang sama pengertiannya dengan verfassungswandlung.

[4] Djokosoetono. Op. Cit.

[5] Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Op. Cit, hlm. 564.

[6] Ibid.

[7] Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan, Konstitusi Sembilan Negara, (Jakarta: Penerbit P.T. Bina Aksara, 1987), hlm. 15. Lihat juga Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-asas Hukum Tatanegara, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 47, dan Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V. Sinar Bakti, 1988), hlm. 85, yang kesemuanya mengutip pandangan C. F. Strong.

[8] K. C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2005), hlm. 23-50.

[9] Ibid.

[10] Mohammad Fajrul Falaakh, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945, Jurnal Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No.2, (Jakarta: Penerbit Centre for Strategic and International Studies, 2002), hlm. 194.

[11] Ibid, hlm. 190.

[12] Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan Praktik, Merupakan Pidato Purna Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada hari Sabtu, 20 Juli 1996 di Auditorium Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat, hlm.28.

[13] Ibid, Harun Alrasid tidak menyebutkan secara jelas Nomor TAP MPR yang ia contohkan.

[14] Ibid. hlm. 29.

[15] Mengenai kasus Marbury Vs. Madison dapat dibaca salah satunya pada buku Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2005), hlm. 16.

[16] Michael Allen dan Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and Administrative Law, (United Kingdom: Oxford University Press, 2002), hlm. 568.

[17] Lihat Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm. 5.

[18] Leonard W. Levy, “Judicial Review, Sejarah, dan Demokrasi: Sebuah Pengantar”, dalam Leonard W. Levy (Editor), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 2.

[19] RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 389.

[20] M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 234

[21] Todung Mulya Lubis, ”Judicial Review dalam Perspektif Hukum Tata Negara”, dalam Beny K Harman dan Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, (Jakarta: Penerbit YLBHI dan JARIM, 1991), hlm. 106.

[22] Ibid.

[23] Harun Alrasid,”Hak Menguji Dalam Teori dan Praktik”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No.1, Juli 2004, (Jakarta: Penerbit Mahkamah Konstitusi RI, 2004), hlm. 94.

[25] Joachim Sanden, Methods of Interpreting The Constitution; Estonia’s Way in an Increasingly Integrated Europe, Juridica International VIII/2003, http://www.juridica.ee/get_doc.php?id=635, diakses tanggal 05 januari 2008.

[26] Ibid.

[27] Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, (Yogjakarta: Penerbit Liberty, 2001), hlm. 39.

[28] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 2000), hlm. 8.

[29] Lino A Graglia, How the Constitution Disappeared, dalam Jack N. Rakove (edt), Interpreting the Constitution, (Boston, USA: Northeastern University Press, 1990), hlm.35.

[32] Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (edt), Law and the Behavioral Sciences, (New York, USA: The Bobbs-Merrill Company, Inc., 1969), hlm.834.

[33] Ibid, hlm.841.

[34] Op. Cit; Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, hlm. 42.

[35] Ibid.

[36] Ibid.

[37] Henry Steele Commager, Judicial Review dan Demokrasi, dalam Leonard W. Levy (Editor), Judicial Review…Op. Cit. hlm. 89.

[38] Ibid. hlm.44.

[39] Thayer mencontohkan sebuah kasus di Amerika, kasus Charles River Bridge yang didasari sebuah undang-undang yang jelas-jelas inkonstitusional namun disahkan oleh legislatif.

[40] James Bradley Thayer, Sumber dan Ruang Lingkup Doktrin Hukum Konstitusional Ameirka, dalam Leonard W Levy, Judicial Review…Op. Cit. hlm. 75.

[41] Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1976), hlm. 29.

[42] Bernard Schwartz, A Book of Legal Lists- The Best and Worst in American Law, (New York ,USA: Oxford University Press, 1997), hlm. 5.

[44] Luthfi Widagdo Eddyono, “Catatan Eksplorative Perkembangan Constitutional Review”, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume 2, Nomor 1, Juli 2005. tulisan ini merupakan resensi terhadap buku karangan Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2005).

[46] Ibid.

[47] Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, (New York: New York Foundation Press, 1999), hlm. 456.

[48] Walter Murphy, Constitutional Interpretation as Constitutional Creation: The 1999-2000 Harry Eckstein Lecture, http://repositories.cdlib.org/csd/00-05. diakses tanggal 02 Februari 2008.

[49] Soedikno Mertokusumo, Penemuan…Op. Cit. hlm.56-57.

[50] John Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, (Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1985), hlm. 82.

[51] http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation. diakses tanggal 5 Maret 2008, dijelaskan dalam website ini bahwa judicial interpretation adalah: a theory or mode of thought that explains how the judiciary should interpret the law, particularly constitutional documents and legislation.

[52] http://www.usconstitution.net/consttop_intr. diakses tanggal 4 Maret 2008.

[53] Ibid.

[55] Joachim Sanden, Methods of InterpretingOp. Cit.

[56] John H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constitutional Theory, third Edition, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1994), hlm. 94-96.

[59] Ibid.

[60] Soedikno Mertokusumo, PenemuanOp. Cit. hlm. 57-61.

[64] Ibid.

[65] Ibid.

[66] Ibid.

[67] Ibid.

[68] Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1986), hlm. 31.

[69] Ibid.

[70] Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 berbunyi: “ Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ”.

[71] H. A. S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MK-RI, 2006), hlm. 181.

[72] Sotiros A. Barber, The Constitutional Judicial Power, (Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1993), hlm. 74.

[73] http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html. diakses tanggal 2 Februari 2008.

[74] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Penerbit P.T. Alumni, 2006), hlm. 264.